KH Fuad Affandi, Penemu Pupuk Air Liur & Mikroorganisme Fermentasi Alami
December 14, 2014 by Sabian |
|
Nama Pimpinan Pesantren Al Ittifaq Kampung Ciburial, Desa Alamendah, Kecamatan Rancabali, Bandung, KH Fuad Affandi meroket berkat penemuannya, Mikroorganisme Fermentasi Alami (MFA). Sebuah formula yang mempercepat proses pembusukan pupuk dengan air liur manusia.
Dengan prinsip tidak boleh ada sehelai sampah pun yang terbuang, kiyai kelahiran Bandung 20 Juni 1948 ini pun berhasil ‘menyulap’ sampah pembalut wanita menjadi keset.
Untuk memasak, Pesantren yang berdiri di atas lahan seluas 14 hektar ini, tidak menggunakan minyak atau gas dari pemerintah. Mereka memanfaatkan biogas, dari kotoran sapi. Gas yang dihasilkan dari kotoran itu lantas disalurkan melalui pipa ke dapur para santri.
Karya-karyanya yang fenomenal itu banyak mendapat penghargaan. Di masa Soeharto, ia menerima Tut Wuri Handayani Award. Pada era presiden Habibie, Fuad dianugerahi Setya Lencana Wirakarya. Kala Presiden Megawati berkuasa, ayah lima anak ini menerima Kalpataru. Serta beberapa penghargaan lainnya.
Dikatain ‘wong edan’
Perjalanan hidup KH Fuad Affandi terbilang dramatik. Dahulu saat kakeknya, KH Mansur memimpin pesantren yang berdiri 1934 ini, banyak larangan yang wajib dipatuhi masyarakat sekitar. Misalnya; Berhubungan dengan pejabat pemerintah, masuk sekolah formal, membuat rumah menggunakan tembok, penggunaan radio, serta larangan pembangunan kamar mandi di dalam rumah.
Konon, menurut KH Fuad Affandi, sang kakek merupakan orang buangan Belanda. Maka segala hal yang berhubungan dengan Belanda ia haramkan. Kebiasaan ini pun menurun kepada ayahnya, KH Rifai’ saat memimpin pesantren.
Tahun 1970, tampuk kepemimpinan beralih ke tangan KH Fuad Affandi. Kebiasaan pun perlahan berubah. Kini di al Ittifaq telah berdiri sekolah formal, mulai tingkat Taman Kanak-kanak (TK), hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). Beberapa bangunan pondok tampak bertingkat. Setiap kamar dan ruangan/lokal sudah dilengkapi tempat mandi dan televisi.
Perubahan yang digagas KH Fuad bukan tanpa rintangan. Ratusan orang silih berganti mengancam akan membunuh KH. Fuad Affandi yang telah berani mengubah tradisi leluhurnya itu. “Mereka ada yang bawa golok segala. Setiap hari saya buka pintu selalu ada surat kaleng. Belum lagi saya dikatain wong edan, orang aneh, sinting, wah banyak lagi,” ungkap KH Fuad Affandi kepada Alhikmah.
“Orang aneh ini kayak orang gila, nggak punya mobil malah bikin jalan, untuk beras juga bingung. Wong edan nggak usah diikutin,” katanya, menirukan cibiran masyarakat saat ia membuat jalan puluhan tahun silam.
Begitu juga saat KH Fuad meminta masyarakat memasang listrik. Lantaran persyaratannya harus ada 20-25 rumah yang juga turut serta dipasangi listrik, untuk mewujudkan itu, Fuad nekad meminjam rumah orang lain meski awalnya ditolak sang pemilik.
Temuan MFA
“Di pesantren al Ittifaq ini tidak boleh ada sampah yang ngawur, tidak boleh ada sejengkal tanah yang tidur, tidak boleh ada waktu sedikitpun yang nganggur, supaya tercapai (tambah Baldatun?) thayyibatun wa rabbun ghaffur.”
Begitu prinsip yang dipegang kuat KH. Affandi. Mengapa demikian? “Karena para santri di Pesantren ini merupakan anak-anak miskin, anak yatim, korban TKW, anak nakal, korban narkoba dan yang tidak mampu sekolah. Mereka tidak membawa uang dan beras,” katanya.
Untuk menutupi kebutuhan itu, suami dari Hj Sa’dah ini mewajibkan para santri untuk bekerja sesuai dengan taraf pendidikannya. Bagi santri lulusan SD ada beberapa pilihan pekerjaan, diantaranya: menggarap sawah, mengurus sapi perah, sapi pedaging, domba, atau pun beragam jenis ikan mulai lele, nila dan beberapa lainnya.
Lain halnya santri tamatan SMP. Mereka saban hari ditugasi mengelola hasil kebun berupa sayur mayur untuk dikirim ke super market di Jakarta dan Bandung, mulai dari pemilahan, pengklasifikasian (grading), pengepakkan, hingga pemberian label.
“Logikanya, kalau kita memasok sayur mayur ke super market perhari 3 ton, maka limbahnya seperti apa nanti? Sedangkan satu helai pun di sini tidak boleh dimubazirkan. Rabbana maa khalaqta hadza batila (Ya…Allah tidak ada sedikit pun yang engkau ciptakan itu sia-sia),” kata Kiyai peraih penghargaan Good Agriculture Practices (GAP) dari Menteri Pertanian 2004-2009, Ir Anton Apriyantono ini.
Menurut Fuad, Allah menciptakan sampah sekalipun pasti ada faedahnya. Maka dilakukanlah proses grading (pengklasifikasian) terhadap hasil kebun di sana. Grade 1 untuk dikirimkan ke super market. Grade 2 dibuat sayur olahan. Grade 3 dibarter dengan sesuatu yang tidak diproduksi di sini. Grade 4 untuk dikonsumsi sendiri. Grade 5 untuk pakan ternak.
Sisa-sisa pakan ternak lantas dijadikan pupuk. Namun, kendala saat itu, memakan waktu sekitar 3 bulan hingga pupuknya busuk. Jika waktunya kurang, tanaman bukannya subur, malah mati.
Teringat koleganya, Prof Entang, di Belanda, sewaktu ia menerima tawaran pemerintah untuk belajar bercocok tanam pada 1987 di Universitas Wageningen, Belanda, Fuad menyampaikan keluhan ihwal lamanya pembusukan pupuk itu.
“Kalau kita makan pagi busuk sore, kalau kita makan sore busuk pagi. nggak sampai satu bulan kan nunggunya. Ada apa di dalam perut?” kata Prof. Entang, melalui telepon.
Bakteri adalah jawabannya. Kebiasaan bakteri, kalau tidak ada makanan yang masuk dalam waktu cukup lama, mereka akan naik untuk memakan sisa makanan yang ada di dalam rongga mulut. Maka ketika naik itulah, tepatnya saat manusia bangun dari tidur malam, bakteri beranjak ke mulut. Kemudian dengan cara berkumur-kumur bakteri ini bisa diambil.
“Jelang subuh, sesudah bangun tidur malam saya menyuruh para santri untuk menampung air bekas kumur-kumur ke dalam kaleng yang telah disediakan di depan pondok,” ungkap KH Fuad.
Untuk menjaga agar bakteri itu tetap hidup, Fuad memasukkan molase atau gula putih, dedak, dan pepaya ke dalamnya sebagai makanan bakteri.
Setelah beberapa hari, air liur santri berubah menjadi cairan kental berwarna keruh. Untuk memeriksa apakah bakteri itu masih hidup atau mati dengan cara mencium baunya. kalau tercium aroma coklat, berarti bakteri masih hidup. Namun, jika tercium bau bangkai, berarti bakteri itu sudah mati.
Setelah itu cairan berisi bakteri yang masih hidup disiramkan ke bahan pupuk yang terdiri dari limbah sayuran dan kotoran ternak. Dari penemuannya ini, proses pembusukan berlangsung hanya dalam waktu 15 hari. Jauh lebih cepat dibandingkan proses sebelumnya, yang memakan waktu hingga 3 bulan.
Selain MFA, ada beberapa temuan lainnya di ranah pertanian, antara lain:
1) Ciknabat, formula pestisida nabati yang berbahan dasar cikur atau kencur, dan bawang putih.
2) Inabat, insektisida nabati yang terbuat dari kacang, cabai, bawang, temu lawak, dan air.
3) Sinabat, sirsak nabati yang berasal dari biji sirsak dan daun arpuse. Fungsinya mengusir hama jenis serangga tanpa meninggalkan residu. Sekaligus dapat menekan tingginya residu, pengaruh pestisida buatan pabrik yang merusak struktur serta sifat biologis tanah.
4) Betapur, merupakan campuran betadin dan kapur. Campuran ini menangkal sekaligus menyembuhkan sayuran dari serangan hama penyakit Phytophthora infestans yang sering menjangkiti tanaman kentang, serta penyakit Alternaria pori yang menyerang tanaman bawang daun. Bahkan, hama nematoda golden yang sering menyerang tanaman, dan hingga kini belum ada obat pembasminya, bisa diantisipasi dengan pestisida itu.